` Bab 12
Bab 12 Kartu Hitam Misterius
Yuni menerima kartu itu dengan ekspresi bingung, dia lalu bertanya, “Tuan Ardika, apakah ini kartu bank kami? Kenapa aku nggak pernah melihat yang warna hitam seperti ini?”
Setelah Wulan dan David selesai bertransaksi, mereka pun mendekat ketika mendengar ucapan Yuni. Mereka juga melirik kartu bank di tangan Ardika.
“Haha, Ardika si pecundang ini, kamu ingin bertransaksi dengan kartu palsu, ya? Konyol sekali!”
Wulan tertawa dengan keras. David juga ikut tersenyum sinis dan berkata kepada Amel, “Aku nggak tahan lagi, cepat usir si bodoh ini.”
“Baik, aku akan segera ….”
Amel pun langsung mengangguk. Namun, ketika tatapannya jatuh di kartu hitam milik Ardika, dia langsung terdiam.
Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi tidak yakin, dia lalu merebut kartu hitam di tangan Ardika.
“Yuni, kamu jaga dulu. Aku akan menanyakan kepada pimpinan cabang.”
Setelah merebut kartunya, Amel melihat kartu itu beberapa kali, kemudian berlari ke atas tanpa menoleh ke belakang.
Wulan berjalan mendekat dan berkata, “Luna, kamu tahu nggak, pakai kartu palsu untuk menipu bank adalah tindakan kriminal. Kalian berdua benar-benar cari mati!”
Luna langsung ketakutan, kedua tangan dan kakinya terasa dingin.
Wulan masih saja menyindirnya, “Baguslah. Sekarang kalian nggak perlu mengemis lagi, negara akan memberikan tempat tidur dan makanan untuk kalian.”
Selesai bicara, mereka melihat Amel sudah kembali. Di belakangnya ikut seorang pria paruh baya yang memakai kacamata. Orang itu adalah pimpinan bank yang bernama Yogi Irawan.
Luna buru-buru berjalan maju dan berkata, “Pak Yogi, kami salah ambil kartu. Kami punya kartu Bank Banyuli ….”
“Kartu palsu? Siapa yang bilang kartu palsu?”
Sambil memegang kartu hitam, Yogi berkata dengan serius, “Ini adalah kartu hitam yang diberikan Bank Banyuli kepada nasabah terhormat. Sampai sekarang, kami hanya pernah mengeluarkan satu kartu. Nilai kredit yang diberikan adalah 200 miliar.”
Apa!
Kartu hitam?
Kredit sampai 200 miliar?
Semua orang terkejut, mereka tidak menyangka anak muda yang mengenakan pakaian biasa ini adalah nasabah Bank Banyuli yang paling terhormat. Bahkan Wulan dan David juga kaget.
“Nggak mungkin! Mana mungkin pecundang sepertimu memiliki kartu hitam? Pak Yogi, kamu salah lihat nggak?” seru Wulan dengan kaget.
“Ardika, kenapa kamu punya kartu hitam?” seru Luna dengan kaget.
“Tapi ….”
Saat ini, Yogi tiba-tiba berkata, “Bank kami hanya pernah mengeluarkan satu kartu hitam sepeti ini, pemiliknya adalah orang terkaya nomor satu di Kota Banyuli, Tuan Henry Hutapea. Nak, sebaiknya kamu jujur saja, apakah kamu mencuri kartu hitam ini?”
Setelah itu, suasana seluruh ruangan pun menjadi hening.
Henry merupakan orang hebat di dunia bisnis Kota Banyuli, dia juga merupakan tamu terhormat wali kota dengan aset puluhan triliun. Ternyata ada yang berani mencuri kartu hitam miliknya? Text © owned by NôvelDrama.Org.
Cari mati!
“Hahaha ….”
Wulan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kemudian, dia menatap Ardika dan berkata, “Nyalimu besar juga, pecundang! Beraninya kamu mencuri kartu hitam milik Tuan Henry. Kamu benar-benar cari mati!”
“Ayo kita pergi, jangan sampai terlibat dengan mereka.”
David juga terlihat senang.
Lalu, mereka pun berjalan pergi.
Yogi melambaikan tangan ke arah Amel dan berkata, “Panggil satpam!”
“Pak Yogi, bukankah kamu terlalu buru-buru? Bagaimana kalau kartu hitam milikku adalah kartu kedua?” tanya Ardika dengan tenang sambil tersenyum.
Yogi pun mendengus dingin dan berkata, “Kartu kedua? Aku bahkan nggak pernah mendengarnya. Nak, kamu benar-benar keras kepala! Amel, nggak usah panggil satpam lagi. Cepat lapor polisi dan tangkap mereka.”
Wajah Luna sudah pucat karena ketakutan, kedua matanya dipenuhi oleh kekecewaan.
Ardika segera menggenggam Luna, lalu mengeluarkan ponselnya untuk menelepon, “Orang dari cabang selatan bilang kalau kartu hitamnya palsu, mereka juga mau menangkapku.”
Selesai bicara, terdengar suara keras dari ujung telepon. Sepertinya suara Calvin jatuh ke lantai.
Ardika langsung menutup teleponnya.
“Nak, siapa yang kamu telepon? Aku kasih tahu, karena kamu sudah berani mencuri kartu hitam, maka nggak ada yang bisa menyelamatkanmu!” ucap Yogi dengan tegas.
Selesai berbicara, suara dering telepon pun terdengar.
“Yogi, bajingan kamu! Aku yang memberikan kartu hitam itu kepada Tuan Ardika, beraninya kamu bilang palsu? Apakah kamu ingin dipecat?”
Setelah Yogi mengangkat teleponnya, dia langsung mendengar teriakan penuh amarah dari Calvin.
“Ah?”
Yogi menggenggam ponselnya sambil bercucuran keringat dingin, seluruh tubuhnya sangat lemas karena ketakutan.
Ketika melihat ekspresi Yogi yang tiba-tiba berubah, semua orang merasa bingung. Amel lalu bertanya dengan bingung, “Pak, kamu kenapa? Aku sudah lapor polisi, dua orang miskin itu akan segera ditangkap.”
“Plak!”
Yogi langsung menampar wanita itu, lalu berteriak dengan penuh amarah, “Sialan! Mulai sekarang, kamu dipecat! Yuni, bawa dua nasabah terhormat ini untuk bertransaksi. Ah bukan, biar aku saja.”
“Ah?”
…
“Tuan Ardika, Nona Luna, aku akan membawa orang untuk mengembalikan semua perlengkapan milik Perusahaan Jaya Semi.”
Dua puluh menit kemudian, Yuni mengantar mereka keluar dari bank dengan penuh semangat.
Hanya dalam waktu singkat, Yuni sudah menjadi manajer bisnis.
“Ah … baiklah, terima kasih,” jawab Luna yang sedang tidak fokus. Dia masih bingung dan tidak tahu apa yang terjadi.
Intinya, semua utang perusahaan sudah lunas.
Pada saat ini, di vila Keluarga Basagita.
Setelah David dan Wulan kembali, mereka langsung menceritakan masalah yang terjadi di bank. Kejadian itu membuat seluruh anggota Keluarga Basagita tertawa terbahak-bahak. Mereka menertawakan Ardika adalah seorang idiot, beraninya dia mencuri kartu hitam milik Henry.
Lalu, Luna juga sudah gila. Dia bahkan ikut mengacau dengan idiot itu.
Wulan pun memanfaatkan kesempatan untuk menghasut, “Kakek, lebih baik kita keluarkan Luna dan keluarganya dari keluarga kita saja. Kalau sampai Tuan Henry marah, Keluarga Basagita nggak akan ikut terseret.”
Ekspresi Tuan Besar Basagita sangat masam, dia pun mengangguk tanpa berbicara.
Di sisi lain.
Luna ingin segera memberitahukan kabar baik ini kepada orang tuanya, dia ingin orang tuanya tahu bahwa kali ini berkat bantuan Ardika.
Ketika masuk ke dalam rumah, mereka merasakan suasana yang sangat suram.
Jacky terlihat putus asa, Desi juga duduk di lantai sambil menangis.
“Bu, apa yang terjadi?” tanya Luna sambil memapah Desi untuk berdiri.
Ketika melihat Ardika, Desi segera berdiri dan berteriak, “Ardika, kamu masih berani datang ke rumah kami! Kenapa kamu bisa mencuri kartu hitam milik Tuan Henry? Tuan Besar baru saja meneleponku, karena takut terlibat, dia sudah mengeluarkan kami sekeluarga! Huhuhu, bagaimana dengan kehidupan kami ….”
“Tidak …. Kakek? Kenapa dia begitu kejam?”
Wajah Luna tiba-tiba menjadi pucat, dia juga ikut menangis.
Diusir dari keluarga akan membuat reputasi mereka hancur dan sulit untuk melakukan apa pun lagi.
Tatapan Ardika menjadi dingin, dia pun berjalan maju dan berkata, “Nggak apa-apa. Ke depannya, aku akan membuat Keluarga Basagita memohon kalian untuk pulang.”