Bab 19
Di tangan Harvey, pergelangan kaki Selena yang ramping itu bagai sayap kupu-kupu yang rapuh, yang dapat dihancurkan dengan mudah.
Sambil membungkuk, Harvey pun perlahan mendekatinya. Wajah kecil wanita yang ketakutan itu terpancar dari mata Harvey, dan penolakan dari wanita itu membuat Harvey marah.
Dengan deg-degan, Selena berteriak dengan ketakutan sekaligus marah, “Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang pernah menyentuh orang lain, singkirkan tanganmu yang kotor itu!”
Segera setelah itu, Harvey membungkam mulutnya, menghentikannya berbicara. Sementara Selena menggeleng dengan gigih sembari melotot dan berusaha melepaskan diri.
Akan tetapi, tangan pria itu melewati lehernya, menopang belakang kepalanya dengan kuat, lalu memaksanya untuk mengangkat lehernya dan ciuman yang menghukum ini terpaksa diterimanya.
Napas yang dingin dan kasar terus menerus masuk ke dalam mulut Selena. Namun mengingat bahwa bibir pria itu mungkin pernah mencium Agatha, Selena merasa sangat jijik.
Entah dari mana kekuatan yang didapatkan, dia mendorong Harvey, lalu terbaring dan muntah di sisi tempat tidur. Setelah Selena muntah dan berbalik, wajah tampan Harvey tampak muram.
Dengan sepasang mata yang menatap Harvey lekat-lekat, Selena berkata kata demi kata, “Sudah kubilang, jangan sentuh aku, aku jijik!”
Harvey pun merasa kesal.
Begitu Selena muntah, suasana yang tadinya memanas sepenuhnya padam, dan saat tiba-tiba ada panggilan masuk, Harvey mengayunkan lengan bajunya dan pergi.
Tak lama, pembantu bernama Benita bergegas membersihkannya, dan dia merasa sedikit iba saat melihat Selena terlihat kelelahan, “Nyonya.”
“Benita, sudah lama kita nggak bertemu,” sapa Selena dengan lemah.
“lya ... sejak Tuan Muda kembali ke rumah lama, Nyonya dan saya tidak bertemu selama hampir lebih dari setahun. Nyonya, apa yang sebenarnya terjadi pada Anda dan Tuan Muda? Bukankah dulu Tuan Muda sangat baik pada Anda? Saya tidak pernah melihat Tuan Muda begitu sayang pada seseorang.”
Selena berbaring lemah di tempat tidur, menatap bintang-bintang di langit-langit yang dipesan khusus oleh Harvey untuknya, sehingga saat lampu dimatikan di malam hari akan tampak seperti bintang yang berkelap-kelip.
Dulu, Harvey akan peka terhadap perkataan apa pun yang diucapkannya. Namun sekarang, sekalipun dia mati di depan Harvey, Harvey akan berpikir bahwa dia sedang berakting.
“Aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami ... ,” gumam Selena.
Benita menghela napas, “Nyonya, meskipun Tuan Muda menyayangi pelakor itu, saya bisa lihat bahwa Tuan Muda masih mencintai Anda. Selama lebih dari setahun ini, sekalipun Tuan Muda pulang larut malam, dia akan tidur di rumah, tidak tidur di rumah pelakor itu,” jelasnya.
Selena kaget. Media beberapa kali memberitakan bahwa Harvey pergi pada malam hari dan pulang keesokan paginya, tetapi dia tidak menginap di Perumahan Kenali?
Dengan segera, Selena mencibir dirinya sendiri. Mereka berdua sudah punya anak, memangnya penting menginap atau tidak? “Nyonya, konflik antara suami dan istri itu tidak pernah berlangsung lama ... berhentilah berkelahi dengan Tuan Muda. Untuk apa Anda dan Tuan Muda berseteru semalaman? Saya ...”
Tidak ada orang lain yang tahu tentang konflik di antara mereka. Harvey memiliki dendam yang mendalam terhadapnya, sementara cinta Selena pada Harvey perlahan berubah menjadi kebencian. Sekalipun tidak ada Agatha, mereka berdua juga tidak mungkin terus bersama.
Demi menanggapi niat baik Benita, Selena menguatkan dirinya dan bangkit dari tempat tidur, “Benita, aku mau mandi dulu,” ucapnya.
“Baik, Nyonya.”
Di kamar mandi, Selena mencuci semua bagian yang disentuh Harvey berulang kali, bahkan mencuci rambut yang sudah beberapa hari tidak dicucinya dengan hati-hati.
Melihat rambut rontok di lantai, Selena duduk memeluk lutut sambil melamun di sudut kamar mandi untuk waktu yang lama.Ccontent © exclusive by Nô/vel(D)ra/ma.Org.
Saat mendengar suara Benita dari luar, dia mengambil rambut-rambut itu, membungkusnya dengan tisu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Dia tidak ingin Harvey mengetahui penyakitnya.